Pemisahan Pemilu: Benarkah Mahkamah Konstitusi Mengkhianati UUD 1945?

Oleh : Acep Sutrisna
Analis Kebijakan Publik Tasik Utara

Kabupaten Tasikmalaya, analisaglobal.com — Pada 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengguncang jagat politik Indonesia dengan Putusan No. 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini memisahkan pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) dari pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah) mulai 2029, mengakhiri era pemilu serentak yang diterapkan sejak 2019. MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.

Dengan demikian, pemilu nasional akan digelar lebih dulu, diikuti pemilu daerah dalam rentang dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan. Keputusan ini memicu gelombang pro dan kontra. Sebagian menyebutnya langkah maju untuk demokrasi, sementara yang lain, termasuk Ketua DPR Puan Maharani, menilainya sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi. Apa sebenarnya implikasi putusan ini? Apakah MK benar-benar melanggar UUD 1945, atau justru sedang menyelamatkan esensi demokrasi?

Keuntungan: Mengasah Kualitas Demokrasi

Pemisahan pemilu menawarkan sejumlah manfaat yang bisa memperkuat demokrasi Indonesia.

Pertama, fokus pemilih yang lebih tajam. Pemilu serentak sebelumnya, seperti pada 2019, membanjiri pemilih dengan informasi tentang kandidat presiden, anggota legislatif nasional, hingga kepala daerah dalam satu waktu. Akibatnya, banyak pemilih kewalahan, dan isu-isu lokal sering tenggelam dalam narasi nasional.

Dengan pemisahan, pemilu nasional dapat fokus pada kebijakan makro dan visi kepemimpinan presiden, sedangkan pemilu daerah menyoroti pembangunan lokal dan kinerja calon kepala daerah. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa N. Agustyati, menegaskan bahwa pendekatan ini memungkinkan pemilih lebih memahami kandidat dan programnya, sehingga meningkatkan kualitas keputusan demokratis.

Kedua, efisiensi logistik dan penyelenggaraan. Pemilu serentak 2019 menjadi bukti betapa beratnya beban logistik KPU, dengan ribuan petugas KPPS kelelahan dan ratusan di antaranya meninggal dunia akibat kelelahan. Pemisahan pemilu mengurangi tekanan pada penyelenggara, meminimalkan risiko kesalahan teknis seperti masalah daftar pemilih tetap (DPT), dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas pemilu.

Ketiga, penguatan partai politik di daerah. Dengan pemilu daerah yang berdiri sendiri, partai politik didorong untuk mengkampanyekan isu-isu lokal, memperkuat basis grassroot, dan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat daerah. Terakhir, peningkatan partisipasi pemilih. Pemisahan memberikan waktu bagi pemilih untuk mencerna informasi, yang berpotensi meningkatkan angka partisipasi dan kualitas demokrasi.

Kerugian: Ancaman Ketidakstabilan Politik

Namun, pemisahan pemilu bukan tanpa risiko. Pertama, potensi kekosongan kepemimpinan daerah. Perbedaan jadwal pemilu dapat menyebabkan masa jabatan kepala daerah tidak selaras dengan siklus pemilu baru. Akar masalahnya adalah penunjukan penjabat kepala daerah yang tidak dipilih secara demokratis, yang dapat memicu ketidakstabilan politik lokal dan merusak legitimasi pemerintahan daerah.

Kedua, ketidakpastian hukum. Putusan MK memerlukan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, tetapi proses legislasi yang lambat atau penuh konflik di DPR bisa menciptakan kekosongan hukum, melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

Ketiga, dominasi politik pusat. Pemilu nasional yang digelar lebih dulu berisiko mendominasi narasi politik, mengesampingkan isu-isu lokal yang seharusnya menjadi inti otonomi daerah, sebagaimana dijamin Pasal 18 UUD 1945. Keempat, beban finansial dan waktu. Penyelenggaraan dua pemilu terpisah dalam rentang waktu singkat meningkatkan biaya logistik dan kampanye, baik bagi negara maupun partai politik. Masyarakat juga berpotensi mengalami “kelelahan politik” akibat dua periode kampanye dalam waktu berdekatan, yang dapat menurunkan antusiasme partisipasi.

Kekosongan Politik: Ancaman Nyata pasca-Putusan MK

Salah satu dampak paling krusial dari pemisahan pemilu adalah risiko kekosongan politik di tingkat daerah. Dengan jadwal pemilu nasional dan daerah yang berbeda, masa jabatan kepala daerah terpilih sebelumnya bisa berakhir sebelum pemilu daerah digelar. Hal ini memaksa pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah, yang sering kali tidak memiliki legitimasi demokratis karena tidak dipilih oleh rakyat. Penjabat ini, biasanya berasal dari birokrasi atau militer, cenderung fokus pada stabilitas administratif ketimbang inovasi kebijakan, yang dapat menghambat pembangunan daerah. Sejarah menunjukkan, misalnya, bahwa penjabat kepala daerah kerap menghadapi resistensi masyarakat, seperti pada kasus penunjukan penjabat gubernur di beberapa daerah pada 2022-2023, yang memicu protes karena dianggap tidak mewakili aspirasi lokal.

Kekosongan politik ini juga berpotensi memperburuk fragmentasi politik. Tanpa kepala daerah definitif, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah bisa terganggu, terutama dalam hal kebijakan strategis seperti penanganan bencana atau pembangunan infrastruktur. Selain itu, penjabat kepala daerah yang tidak memiliki akuntabilitas elektoral cenderung rentan terhadap tekanan politik dari elit pusat, yang dapat melemahkan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam jangka panjang, situasi ini bisa memicu ketidakpuasan masyarakat dan meningkatkan potensi konflik sosial di daernosional, yang berisiko mendominasi narasi politik, mengesampingkan isu-was.

Solusi Mengatasi Kekosongan Politik

About analisaglobal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *