Pemisahan Pemilu: Benarkah Mahkamah Konstitusi Mengkhianati UUD 1945?

Untuk mengatasi risiko kekosongan politik, beberapa langkah strategis dapat ditempuh. Pertama, penyesuaian masa jabatan kepala daerah. DPR dan pemerintah perlu merevisi UU Pilkada untuk memastikan masa jabatan kepala daerah selaras dengan jadwal pemilu daerah baru. Misalnya, masa jabatan kepala daerah yang berakhir sebelum pemilu daerah dapat diperpanjang sementara melalui mekanisme transisi yang diatur secara konstitusional, sehingga mengurangi kebutuhan akan penjabat. Kedua, penguatan mekanisme pengawasan penjabat kepala daerah. Jika penunjukan penjabat tidak terhindarkan, DPRD provinsi/kabupaten/kota harus diberi kewenangan lebih besar untuk mengawasi kinerja penjabat, memastikan mereka tidak menyimpang dari aspirasi lokal.

Ketiga, percepatan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Proses legislasi yang cepat dan terkoordinasi antara DPR, pemerintah, dan KPU dapat meminimalkan ketidakpastian hukum, termasuk soal jadwal pemilu dan mekanisme transisi kepemimpinan daerah. Keempat, penguatan partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah dapat melibatkan masyarakat melalui forum konsultasi publik selama masa transisi untuk menjaga legitimasi dan mencegah konflik sosial. Terakhir, pendekatan teknologi untuk efisiensi. KPU dapat memanfaatkan teknologi, seperti sistem pemilu elektronik terbatas, untuk mempercepat proses pemilu daerah di wilayah dengan risiko kekosongan politik tinggi, sehingga meminimalkan masa jabatan penjabat.

Kontroversi Konstitusional: Melanggar atau Menegakkan UUD 1945?

Inti dari kontroversi ini adalah apakah putusan MK selaras dengan UUD 1945, khususnya Pasal 22E yang mengatur bahwa pemilu untuk DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD diadakan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pihak yang menentang, seperti Puan Maharani dan Wakil Ketua Komisi VI DPR Nurdin Halid, berargumen bahwa pemisahan pemilu melanggar prinsip “keserentakan” yang tersirat dalam pasal ini.

Menurut mereka, memisahkan pemilu DPRD dari pemilu nasional bertentangan dengan semangat konstitusi. Lebih jauh, mereka menilai MK telah melampaui kewenangannya berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, yang membatasi peran MK pada pengujian undang-undang, bukan menciptakan norma baru seperti menentukan jadwal pemilu. Nurdin bahkan menyebut putusan ini cacat konstitusional, karena perubahan besar seperti ini seharusnya dilakukan melalui amandemen UUD oleh MPR, sesuai Pasal 37.

Baca Juga Sambut HUT Kemerdekaan RI ke-80, Anggota Paskibra Kecamatan Sukahening Intensif Berlatih

Sebaliknya, MK dan pendukung putusan ini, seperti Perludem, berpendapat bahwa pemisahan pemilu tetap sesuai dengan UUD 1945. Hakim MK Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa putusan ini final dan mengikat, dengan argumen bahwa jadwal pemilu nasional dan daerah tetap berada dalam siklus lima tahunan, sehingga tidak melanggar Pasal 22E. MK juga mengacu pada pendekatan keadilan substantif, sebagaimana terlihat dalam Putusan No. 102/PUU-VII/2009, yang memprioritaskan perlindungan hak pilih warga negara di atas formalitas teks hukum. Dengan memisahkan pemilu, MK berargumen bahwa hak konstitusional warga untuk memilih secara terinformasi—sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945—dapat diwujudkan dengan lebih baik, karena pemilih tidak lagi kewalahan oleh kompleksitas pemilu serentak.

Analisis Objektif

Secara objektif, putusan ini berada di area abu-abu konstitusional. Pasal 22E UUD 1945 memang tidak secara eksplisit mengatur bahwa semua pemilu harus digelar pada hari yang sama, tetapi penafsiran historisnya mengarah pada keserentakan dalam satu waktu. Pemisahan pemilu bisa dilihat sebagai penyimpangan dari penafsiran ini, terutama karena tidak ada klausul dalam UUD yang secara tegas mengizinkan pemisahan jadwal. Selain itu, kewenangan MK untuk menetapkan norma baru seperti jadwal pemilu dapat dianggap melampaui mandat Pasal 24C, yang hanya mengizinkan pengujian undang-undang, bukan pembentukan kebijakan.

Namun, MK memiliki sejarah panjang dalam penafsiran progresif untuk memperkuat demokrasi. Putusan No. 102/PUU-VII/2009, misalnya, memperbolehkan penggunaan identitas kependudukan untuk pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, menunjukkan bahwa MK sering mengutamakan keadilan substantif. Dalam konteks pemisahan pemilu, MK berargumen bahwa langkah ini memperkuat hak pilih rakyat dengan memungkinkan partisipasi yang lebih berkualitas, sejalan dengan semangat Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat dan negara hukum.

Tantangan ke Depan: Harmonisasi dan Stabilitas

Secara praktis, putusan ini mencerminkan dinamika politik Indonesia yang penuh ketegangan. Kritik dari DPR menunjukkan adanya friksi antarlembaga negara, dengan MK dianggap mencampuri ranah legislasi. Di sisi lain, dukungan dari organisasi seperti Perludem menegaskan bahwa pemisahan pemilu bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, tanpa harmonisasi hukum yang cepat—melalui revisi UU Pemilu dan UU Pilkada—risiko ketidakpastian hukum, kekosongan politik, dan konflik politik akan membayangi.

Untuk memastikan kesesuaian dengan UUD 1945, diperlukan langkah konkret. Pertama, DPR dan pemerintah harus segera merevisi undang-undang terkait untuk menyesuaikan jadwal dan mekanisme pemilu, termasuk solusi untuk mencegah kekosongan politik. Kedua, jika penafsiran Pasal 22E masih memicu polemik, amandemen UUD atau Tap MPR bisa menjadi solusi untuk memberikan kejelasan konstitusional. Terakhir, dialog antarlembaga negara, termasuk antara MK, DPR, dan pemerintah, sangat penting untuk menjaga stabilitas demokrasi.

Kesimpulan: Antara Kemajuan dan Kontroversi

Putusan MK tentang pemisahan pemilu adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan demokrasi yang lebih berkualitas melalui fokus pemilih yang lebih tajam, efisiensi penyelenggaraan, penguatan partai di daerah, dan peningkatan partisipasi. Di sisi lain, ia membawa risiko kekosongan kepemimpinan, ketidakpastian hukum, dominasi politik pusat, dan beban finansial. Kekosongan politik, khususnya, menjadi ancaman serius yang dapat melemahkan otonomi daerah dan memicu ketidakstabilan, tetapi dapat diatasi melalui penyesuaian masa jabatan, pengawasan penjabat, revisi undang-undang yang cepat, partisipasi masyarakat, dan pemanfaatan teknologi.

Dari sudut konstitusional, putusan ini bisa dibaca sebagai pelanggaran Pasal 22E jika “keserentakan” ditafsirkan secara harfiah, tetapi juga bisa dibenarkan sebagai upaya progresif untuk memperkuat hak konstitusional rakyat. Indonesia kini berada di persimpangan. Putusan ini bisa menjadi langkah berani menuju demokrasi yang lebih matang, atau justru memicu instabilitas jika tidak dikelola dengan baik. Yang jelas, keberhasilan implementasinya bergantung pada kerja sama antarlembaga dan komitmen untuk menjaga kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi. Mampukah Indonesia menjawab tantangan ini, atau akankah putusan MK ini menjadi bom waktu konstitusional ?

Baca Juga FORWAPI Desak Inspektorat Lakukan Audit Desa yang Membeli Pupuk Cair, BUMDes Jangan Jadi Korban

About analisaglobal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *