Oleh : Acep Sutrisna
Analis Kebijakan Publik, Tasik Utara
Kabupaten Tasikmalaya, analisaglobal.com :
Ironi di Balik Antrean Panjang
Di sudut-sudut kota hingga pelosok desa, pemandangan antrean panjang masyarakat memburu makanan gratis—entah itu sembako dari bansos, sedekah acara keagamaan, atau sisa hidangan pesta pejabat—bukan lagi hal asing. Namun, di balik keriuhan itu, ada pertanyaan yang menggelitik: Mengapa fenomena ini terus berulang? Apakah ini sekadar soal “gratisan” yang menggoda, atau cerminan luka sosial yang lebih dalam?
Fenomena ini bukan hanya tentang lapar perut, tetapi juga tentang lapar akan keadilan, kesejahteraan, dan tatanan sosial yang manusiawi. Ia adalah cermin retak dari sistem yang gagal menjamin kesejahteraan, sekaligus potret nyata berbagai penyakit sosial yang menggerogoti masyarakat kita. Mari kita bedah satu per satu.
Kemiskinan Struktural: Sistem yang Membelenggu
Apa artinya ketika ribuan orang rela berdesakan, bahkan mempertaruhkan keselamatan, demi sekantong beras atau sebungkus nasi? Ini bukan sekadar antusiasme, tetapi sinyal darurat dari kemiskinan struktural yang mengakar.
Kemiskinan struktural terjadi ketika sistem ekonomi dan distribusi sumber daya gagal memberikan akses layak bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upah buruh yang stagnan, harga pangan yang melonjak, pengangguran yang terus mengintai, dan jaring pengaman sosial yang compang-camping adalah biang keladinya. Di Negri Konoha, misalnya, banyak petani dan pekerja informal hidup pas-pasan, terjebak dalam lingkaran ekonomi yang timpang. Apakah kita akan terus membiarkan sistem ini menjerat mereka yang sudah berjuang mati-matian?
Ketergantungan dan Mentalitas Konsumtif: Candu Bantuan Instan
Di balik antrean panjang, ada pola pikir yang mengkhawatirkan: ketergantungan. Bantuan sosial yang seharusnya menjadi jembatan darurat kini menjadi gaya hidup bagi sebagian masyarakat. Bukan karena mereka malas, tetapi karena sistem bantuan yang berulang tanpa disertai edukasi pemberdayaan telah menciptakan mentalitas konsumtif.
Baca Juga Kesal Mangkrak dan Jadi Sarang Maksiat, Warga Babakan Kaliki Segel Stadion Mangunreja
Banyak warga yang sebenarnya tidak dalam kondisi darurat ikut berebut, bukan karena lapar, tetapi karena “sayang kalau dilewatkan”. Dampaknya? Daya juang melemah, kreativitas ekonomi tersumbat, dan semangat kewirausahaan mati suri. Jika bantuan terus menjadi candu, kapan masyarakat akan bangkit mandiri?
Disorganisasi Sosial: Ketika Norma Tergerus Kekacauan
Pernahkah Anda melihat kerumunan berebut makanan gratis berubah menjadi lautan kekacauan? Dorong-dorongan, saling serobot, bahkan adu fisik, sering kali mewarnai pembagian bantuan. Ini adalah gejala disorganisasi sosial, di mana norma, nilai, dan keteraturan masyarakat mulai rapuh.
Lemahnya kontrol sosial, minimnya peran tokoh masyarakat, dan krisis kepemimpinan informal memperparah situasi. Di banyak komunitas, nilai gotong royong dan saling menghormati tergantikan oleh sikap “yang penting saya dapat”. Bukankah ini pertanda bahwa tatanan sosial kita sedang kehilangan pegangan?