Kepatuhan SOP adalah Harga Mati
Sebagai aktivis yang mengikuti perkembangan regulasi MBG, saya menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap kepatuhan pelaksana di lapangan pada SOP, juklak, dan juknis resmi. Tidak boleh ada improvisasi tanpa dasar. Semua sudah diatur rinci: standar menu, komposisi porsi, proses distribusi, hingga penerapan lima kunci keamanan pangan WHO, mulai dari kebersihan dapur hingga alat makan.
Bidang gizi di tiap Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) harus memastikan makanan yang diterima sekolah benar-benar bergizi lengkap: ada karbohidrat, protein, sayur, dan buah. “Tak boleh hanya nasi dan mie goreng,” kritik saya.
Pengawasan ini penting bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi untuk menjamin anggaran negara benar-benar digunakan demi kesehatan anak-anak.
Potensi Revolusi Sosial Bila Dilaksanakan Serius
Program MBG sejatinya bisa menjadi tonggak revolusi sosial: memutus rantai kemiskinan gizi, membuka lapangan kerja di sektor pertanian dan logistik lokal, serta mengenalkan anak-anak pada makanan sehat berbasis pangan lokal.
Namun, semua itu hanya akan terwujud jika pelaksanaan di lapangan dijalankan dengan komitmen tinggi dan penuh tanggung jawab.
Sebagai warga yang peduli, saya mengajak seluruh elemen—kepala daerah, pengurus yayasan penerima bantuan, pihak sekolah, hingga orang tua siswa—untuk aktif mengawal program ini bersama-sama. Karena MBG bukan hanya tentang memberi makan anak-anak kita, tetapi tentang mewujudkan keadilan sosial yang disajikan di atas piring makan mereka.
Editor : Dods
Baca Juga Pabrik Kue Koya di Desa Imbanagara Terbakar, Warga Sigap Lapor ke Damkar dan PLN