Pengelola Objek Wisata Harus Mampu Beri Jaminan Keselamatan Pada Pengunjung

Kemudian terkait dengan Health Risk Assessment (HRA) secara konsep sama dengan HIRA Safety secara umum. Jadi dengan menilai kombinasi likelihood dan consequence suatu potensi ill health yang diakibatkan oleh suatu hazard. Yang membedakannya hanyalah pendekatan terhadap hazards. Dalam tourism safety, hazards muncul dari faktor alam ataupun faktor aktivitas manusia lainnya di alam. Misalnya untuk objek wisata yang berbasis pemanfaatan sungai (air) maka resiko yang mungkin terjadi adalah terbawa aliran sungai, baik arus permukaan ataupun arus dalam, binatang yang ada di sungai. Lalu untuk wisata goa ada resiko tertimbun jika terjadi gempa atau longsoran, sasar di dalam goa untuk goa bercabang, terpeleset karena licin pijakan, tertusuk tajamnya stalagtit stalagmit, kekurangan oksigen, penyebaran virus dan bakteri dalam goa kelelawar dan lain – lain. Jadi pendekatan terhadap risiko potensi yang terjadi pada safety, yang diidentifikasi adalah ‘cedera atau injury’ yang muncul bersifat akut sedangkan pada kesehatan, yang diidentifikasi adalah ‘gangguan fungsi atau munculnya suatu penyakit’ sehingga lebih bersifat ‘long-term’.

Pada HIRA, memang dibutuhkan satu hal yang lebih spesifik yaitu kemampuan menilai ‘proses interaksi antara manusia dengan peralatan dan lingkungannya. Pada HIRA prosesnya dimulai dengan melakukan ‘desk study’ terhadap aktivitas pengunjung di suatu objek wisata. Pada tahap ini assessor melakukan identifikasi yang bersifat ‘forecast’ terhadap aktivitas – aktivitas pengunjung di suatu objek wisata. Assessor melakukan document review termasuk terhadap blueprint fasilitas, prosedur keselamatan, dan peralatan keselamatan lainnya yang harus tersedia di objek wisata tersebut. Fase ini dikenal juga sebagai tahap ‘anticipation’. Tahap berikutnya adalah melakukan ‘recognition’ di objek wisata untuk melakukan identifikasi dan konfirmasi atas hazard yang diidentifikasi pada fase sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melakukan ‘walk trough survey’ di objek wisata dengan melakukan penelusuran secara sistematik.

Pada kondisi ini, assessor harus mengidentifikasi :
‘what’-apa saja hazard yang ada di objek wisata tersebut ?
‘who’-siapa saja yang mungkin akan terdampak oleh potensi bahaya tersebut ?
‘when’-kapan dan seberapa lama resiko bisa terjadi ?
‘where’– dimana bahaya muncul dan dimana dampak akan terjadi ?
‘how’– bagaimana kemungkinan kecelakaan atas potensi bahaya bisa terjadi ?

Kemudian tahap berikutnya adalah melakukan ‘evaluasi’ terhadap resiko dengan menilai nilai ambang batas. Lalu langkah berikutnya adalah tahap menentukan langkah-langkah pengendalian dan penanggulangan yang akan dijalankan. Pendekatannya dapat menggunakan hirarki control sebagaimana pada HIRA Safety yaitu: Eliminasi, Substitusi, Engineering, Administration, dan PPE. Namun fokusnya diarahkan kepada tiga hal yaitu :

Pengendalian di tempat asal hazard (‘source’)
Pengendalian di jalur menuju objek wisata (‘exposure’)
Pengendalian pada orang yang mungkin tertimpa bencana (‘host’)

Setelah melakukan hal ini langkah berikutnya dalah dengan melakukan komunikasi dan konsultasi hasil HIRA ini kepada ahli keselamatan pariwisata (tourism safety expert/ refresentative), termasuk mensosialisasikan kepada para pegiat kepariwisataan, khususnya para pengelola yang terlibat di suatu objek wisata agar mereka mengenali bahaya ini, risiko apa yang dihadapi, dan bagaimana cara penanganannya. Proses komunikasi dapat dilakukan dengan menempatkan rambu dan marka, label dan tanda terkait dengan bahaya dan risiko ini. Kemudian langkah terakhir adalah dengan melakukan monitor dan review terhadap pelaksanaan langkah control, hazards yang ada di suatu objek wisata. Dengan melakukan proses HIRA ini seperti di atas, maka resiko-resiko kecelakaan dapat diidentifikasi, dikendalikan, dan diantisipasi sebelum terjadinya suatu kecelakaan.

Untuk itulah sejak awal berdirinya organisasi Pegiat Ragam Wisata Nusantara (PRAWITA) GENPPARI, meletakan aspek safety di awal – awal pertemuan. Jadi semacam safety brefing atau coffee morning di industri – industri. Hal ini dilakukan dengan maksud agar para wisatawan yang berkunjung ke suatu objek wisata merasa aman, karena semuanya sudah siap dalam aspek safety. Termasuk seluruh pengelola yang terlibat memahami dan disiplin dalam penerapan segala ketentuan yang berkaitan dengan keselamatan (safety) tersebut. Jangan sampai saat datang ke objek wisata diawali dengan senyum dan keceriaan, tapi berakhir dengan isak tangis kesedihan. Prawita GENPPARI secara konsisten menggelorakan semangat “Datang dengan senyum Kebahagiaan, Pulang Membawa Sejuta Kenangan”.***Masdar

About analisaglobal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *